Ibu adalah orang yang paling dekat pada anak. Ia merupakan orang yang pertama yang mengajarkan cara berbicara, cara menghitung jari di tangan, dan cara mengekspresikan rasa kasih sayang dan simpati pada orang lain. Dengan demikian ia merupakan guru pertama dan utama dalam mengendalikan anaknya untuk menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang. Kemudian ayah juga harus menjadi orang yang pertama atau orang nomor dua dalam kehidupan anak sebagai pendidik anak dan membimbingnya tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Menjadi orang yang berguna seperti kata Rasullullah SAW: khairunnas anfahum linnas- orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Namun dari kenyataan dalam hidup ini terlihat bahwa jutaan kaum bapak tidak tahu dan tidak mau tahu soal mendidik anak. Mereka terlalu menyerahkan urusan mendidik anak pada kaum ibu.
Sebagian menganggap bahwa kalau ikut mendidik dan merawat anak maka karakter maskulin mereka akan merosot. Dalam pola rumah tangga tradisionil kaum bapak berpendapat bahwa mengendong, memberi susu dan mendidik anak adalah urusan kaum wanita. Tidak masalah atau dapat dimaafkan kalau kaum bapak tidak ikut mengurus pendidikan dan perawatan anak lantaran mereka super sibuk mencari nafkah demi keluarga juga. Namun apa kira kira ungkapan yang patut diberikan pada kaum bapak yang cuma pandai beranak kemudian kurang terampil dalam mencari nafkah apalagi dalam urusan mendidik keluarga ?. Itulah yang ada dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat tradisionil telah sepakat berpendapat bahwa tugas ibu adalah memelihara anak dan tugas ayah adalah bekerja, mencari uang, sehingga kaum ayah atau bapak tidak pantas menyediakan susu botol bayi, dan mengganti popok. Untuk keharmonisan keluarga dan perkembangan anak maka anggapan ini sangat merugikan.
Kaum bapak walaupun sibuk bekerja, namun juga harus bisa melibatkan diri dalam kehidupan rumah tangga. Malah ini dapat menambah rasa hormat istri pada suaminya. Kaum bapak yang berpandangan moderen di negara kita dan di negara maju lainnya bahwa walau mereka memiliki banyak posisi karir dan sibuk dengan beberapa aktivitas tetap melowongkan waktu untuk ikut mendidik anak, membantu meringankan pekerjaan rumah, ikut mencuci, memasak sehingga, sekali lagi, mereka mendapat simpati dan rasa hormat yang ekstra dari kaum wanita, istri mereka. Pada umumnya orang mendambakan untuk punya rumah tangga yang hangat, harmonis dan bahagia. Suasana rumah tangga yang begini tidak datang dengan sendirian namun harus dibina. Ayah dan ibu perlu melakukan proses bagaimana mengelola rumah tangga agar tumbuh bahagia.
Pola kepemimpinan dalam rumah tangga oleh ayah, dan pola pengasuhan oleh ibu sangat menentukan kebahagiaan anak-anak mereka. Ada tiga tipe kepemimpinan dan pengasuhan yang secara tak sengaja diterapkan oleh ayah dan ibu, yaitu tipe otoriter, laissez faire dan demokrasi. Orang tua yang otoriter cenderung berwatak keras, suka memaksakan pendapat. Tipe laissez faire adalah orang tua yang suka masa bodoh, serba tidak peduli atas apa yang terjadi, dan tipe demokrasi adalah pola kepemimpinan ayah dan pengasuhan kaumm ibu yang menghargai hak hak dan pendapat anak dan anggota keluarga yang lain.
Tentu saja rumah tangga yang didamba adalah rumah tangga yang hangat dan yang demokrasi. Orang tua atau ayah-ibu yang penuh penghargaan dimana kegiatan dalam rumah tangga dilaksanakan secara kebersamaan menurut peran yang telah disepakati.
Peran orang tua dalam mendidik moral anak.
Dalam zaman dengan kemajuan teknologi dan informasi yang pengaruh positif dan negatifnya hampir tidak bisa dihindari. Dampak dari kemajuan ini menimbulkan plus dan minus, termasuk dalam hal dekadensi moral – kemerosotan moral. Maka peran orang tua sebagai pendidik moral anak sangat dituntut. Mereka perlu terlibat dalam mendidik anak agar mereka memiliki moral yang terpuji. Orang tua dapat belajar dari berbagai literatur dan bertukar pendapat tentang pendidikan dengan teman yang dianggap tahu. Ada banyak buku yang dapat dibeli atau dipinjam di perpustakaan atau literatur yang dapat diakses lewat internet yang berbicara tentang moral, pendidikan moral, moral dan sosial.
Dalam zaman yang serba mudah dalam mengakses ilmu pengetahuan bila orang tua tidak peduli akan otodidak, menambah ilmu dan wawasan sendirian, tentu akan sangat merugi bagi diri dan bagi keluarga mereka. Kepribadian Kartini Kartono (1985) mengatakan bahwa setiap pribadi itu unik. Tidak ada dua pribadi yang sama. Pribadi seseorang ditentukan oleh bakat, pendidikan, pengalaman- apakah pengalaman pahit atau menyenangkan- dan faktor lingkungan. Faktor eksternal yang berpengaruh pada anak bisa berasal dari rumah, sekolah, dan masyarakat seperti teman sebaya dan teman yang berbeda umur.
Pengaruh yang diterima (yang dialami) oleh seseorang waktu kecil maka bekasnya begitu mendalam dalam memori seseorang. Semua ha-hal yang disebutkan tadi sangat berpotensi dalam pembentukan kualitas kepripadian atau karakter seseorang. Namun dasar-dasar dalam pembentukan kualitas kepribadian adalah sejak dari rumah melalui sentuhan dan bimbingan orang tua. Bentuk perlakuan yang diterima anak dari orang tua dan lingkungan menentukan kualitas kepribadiannya. Seseorang yang memiliki kepribadian yang rapuh/ lemah terbentuk karena ia kurang memperoleh kasih sayang, kurang rasa aman dan akibat pemanjaan- menuruti kehendak anak tanpa mengajarkan rasa bertanggung jawab (memberi anak kegiatan tanggung jawab). Sebaliknya orang yang memiliki kepribadian yang kuat, ini terbentuk karena pemberian rasa kasih sayang, kehangatan jiwa dan pemberian aktivitas atau pengalaman hidup, life skill, pada anak.
Membina hubungan dan komunikasi
Kita tahu bahwa kualitas hubungan dan komunikasi yang diberikan orang tua pada anak akan menentukan kualitas kepribadian dan moral mereka. Hubungan yang penuh akrab dan bentuk komunikasi dua arah antara anak dan orang tua merupakan kunci dalam pendidikan moral keluarga. Komunikasi yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang bersifat integrative, dimana ayah, ibu dan anak terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan dan menghindari model komunikasi yang bersifat dominatif atau suka menguasai pembicaraan. Pastilah orang tua yang dominatif, yang kerjanya “ngobrol” melulu tak henti-hentinya akan menjadi orang tua yang menyebalkan.
Selanjutnya diharapkan agar komunikasi orangtua dengan anaknya banyak bersifat mendorong, penuh penghargaan dan perhatian. Karena ini berguna untuk meningkatkan kualitas karakter dan moral anak. Hal lain yang perlu diperhatikan orang tua dalam membentuk moral anak melalui pendidikan dalam keluarga adalah menjaga kualitas hubungan dan komunikasi mereka, yaitu hubungan dan komunikasi yang ramah tamah dengan suasana demokrasi. Sebab keramahan dapat membuat anak merasa diterima.
Ada dua tingkat hubungan orang tua dan anak dalam berkomunikasi yaitu pada tingkat feeling atau perasaan, dan tingkat rasio atau logika. Hubungan pada tingkat feeling atau emosi yaitu untuk pemahaman atau empati; empati berarti memahami perasaan seseorang tanpa harus larut dalam emosinya. Hubungan pada tingkat rasio atau logika juga diperlukan untuk memecahkan masalah dalam keluarga. Kedua bentuk hubungan ini perlu untuk diaplikasikan oleh orang tua dalam membina moral anak.
Walau orang tua harus bersikap ramah dan menerapkan demokrasi pada keluarga, bukan berarti menunjukan karakter yang lemah dan suka mengalah. Dalam membuat keputusan orang tua tetap bersifat demokratis tetapi tegas dan jelas. Sebab orang tua yang tidak tegas dan mudah mengalah pada anak akan membuat anak bermental “plin plan” atau bermental “terombang ambing”.
Moral dan agama
Zakiah Daradjat (1976) mengatakan bahwa hubungan antara moral dan agama sangat erat. Orang yang taat beragama, moralnya akan baik. Sebaliknya orang yang akhlaknya merosot, maka agamanya tidak ada sama sekali. Kualitas agama seseorang juga ditentukan oleh kualitas pendidikan dan pengalaman beragama mereka sejak kecil.
Mengajak anak-anak berusia kecil untuk mengunjungi berbagai mesjid, memberi fakir miskin sekeping roti dari tangan sendiri, mengunjungi panti asuhan dan panti jompo, menajak anak untuk ikut shalat dhuha dan tahajjud, akan dapat memperkaya pengalaman rohani anak dan akan berkesan sepanjang hayat anak. Membentuk pengalaman beragama pada anak saat kecil berarti menanamkan akar beragama pada mereka. Kelak pengalaman beragama, yang telah mengakar ini, akan mampu memperbaiki karakter, kepribadian dan moral anak.
Perlu untuk diperhatikan bahwa apabila latihan dan pengalaman beragama yang diterapkan secara kaku, maka di waktu dewasa mereka akan cenderung menjadi kurang peduli pada agama. Pembentukan moral dan agama selain ditentukan oleh faktor didikan dan sentuhan orang tua juga ditentukan oleh faktor sekolah dan pengalaman bergaul mereka dalam sosial. Memang bahwa pada mulanya sikap beragama anak pada mulanya dibentuk di rumah, namun kemudian disempurnakan di sekolah, terutama oleh guru-guru yang mereka sayangi atau yang mereka idolakan- maka guru yang diidolakan siswa hendaklah menjadi guru yang sholeh. Kemudian anak perlu juga untuk memiliki pengalaman bergaul dan melaksanakan aktivitas keagamaan, misal seperti di TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), kegiatan menyantuni anak yatim dan fakir miskin, kegiatan didikan subuh. Dari pengalaman bersosial- begaul- sejak kecil, maka berkembanglah rasa kesadaran moral dan sosial anak. Kesadaran tersebut bisa lebih optimal pada masa remaja.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak perlu ada miskonsepsi dalam mendidik anak, ayah dan dan ibu memiliki peran yang sama dalam pendidikan anak. Malah kaum bapak yang terlibat dalam mengurus anank dan rumah akan sangat dihormati oleh istri mereka. Orang tua perlu menerapkan pola demokrasi di rumah dan memperlihatkan rasa akrab dalam keluarga agar anak merasa diterima. Untuk mendidik moral maka factor model atau suri teladan dari orang tua sangat menentukan, orang tua harus terlebih dahulu memiliki moral dan akhlak yang terpuji dan akhir kata bahwa anak perlu diberi tanggung jawab, perhatian, kasih sayang dan pengalaman beragama sejakm usia dini.
(catatan: 1. Kartini Kartono (1985). Bimbingan Dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Bimbingan Praktis. Jakarta: CV. Rajawali. 2. Zakiah Daradjat (1976). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang)
Mengantisipasi Kegagalan UN
-
Tugas utama siswa adalah belajar. Kegiatan belajar dapat dilakukan di sekolah dan di rumah. Waktu untuk kegiatan belajar di sekolah, yaitu k...
-
Setelah menyelesaikan sekoah menengah pertama (SMP), anda bercita-cita melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu sekolah me...
-
Pendidikan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehar-hari, baik ilmu formal ataupun non formal. Pendidikan formal dapat diperoleh dari sekolah...
-
BAB I PENDAHULUAN A. LANDASAN 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 6 yang mengemukak...
-
Tulisan ini merupakan masukan untuk membantu ananda menghilangkan tali cinta sepasang kekasih, baik dengan cara yang baik-baik maupun cara y...
-
Ibu adalah orang yang paling dekat pada anak. Ia merupakan orang yang pertama yang mengajarkan cara berbicara, cara menghitung jari di tanga...
-
Siapa yang tidak ingin menjadi anak pintar, anak yang selalu disanjung, diidolakan karena prestasi yang menonjol? Menjadi anak pecundang ata...
-
Menjadi guru merupakan panggilan yang sangat mulia. Apalagi di zaman sekarang, guru bukan lagi sebuah profesi yang sederhana. Bahkan menjadi...
-
A. Saat Ini hingga tiga hari menjelang hari H 1. Belajar dengan cara terbaik sesuai dengan gaya belajar Anda. 2. Perbanyak berkonsul...
-
A.CARA MEMBUAT DIRI BERSEMANGAT. Untuk membuat diri bersemangat sebenarnya tidak sulit jika kita tahu caranya. Caranya yaitu dengan meliha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar